setia
Minggu, 01 Maret 2015
Sabtu, 28 Februari 2015
SYIRKAH DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut
pandangan umum manusia disebut sebagai makhluk social yang mana berarti bahwa
setiap manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa bantuan dari orang
lain sehingga dibutuhkan suatu tindakan interaksi dengan manusia yang lain
dalam bentuk hubungan timbal balik sehingga suatu bentuk kehidupan akan
berjalan dengan baik. Sedangkan menurut pandangan islam, hubungan antar sesama
makhluk disebut hablum minan naas, oleh karena membutuhkan bantuan orang lain
maka dibutuhkan suatu tindakan yang disebut muammalah, karena muammalah terbagi
menjadi beberapa macam, maka makalah ini menghususkan pada bab syirkah atau
perkongsian, dikarenakan banyak sekali praktek perkongsian disekitar kita
sehingga perlu untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam Syirkah
Kata syirkah dalam
bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
temannya.[1]
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti campur.[2]
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan
tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, dibaca
syirkah lebih fasih (afshah).[3] Adapun syirkah secara hukum syara’ adalah suatu
akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
dengan tujuan memperoleh keuntungan.[4]
B.
Hukum dan Macam Syirkah
Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi
saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana
dituturkan Abu Hurairah
ra:
.
قا ل الله تعا ل انا ثا لث الشريكين ما لم يخن احد هما صا حبه
فاذا خا نه خرجتت من بينهما (رواه ابو داود والحا كم)
artinya: :
Allah SWT. Berfirman,”aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya).
Berdasarkan
kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam
syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah man; (2) syirkah inân (3) syirkah
abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. semua itu adalah
syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi
syarat-syaratnya.
a. Syirkah man
Syirkah man adalah dua orang berkongsi dalam suatu urusan tertentu, tidak di
dalam semua harta mereka, misalnya bersekutu dalam dalam membeli suatu barang.
Hal demikian hukumnya boleh.[5]
b. syirkah inân
syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja
('amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah
dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B
sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, syirkah ini syah dengan syarat modal keduanya satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Adapun kalau modal mereka sama tetapi salah seorang diantara mereka mensyarakatkan supaya memperoleh lebih banyak laba , maka syirkah menjadi batal. Berbeda dengan pendapat Imanm Hanafi, syirkah demikian adalah syah, meskipun yang mensyaratkan itu baru dalam masalah perniagaan serta lebih banyak.[6]Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[7]
menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, syirkah ini syah dengan syarat modal keduanya satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Adapun kalau modal mereka sama tetapi salah seorang diantara mereka mensyarakatkan supaya memperoleh lebih banyak laba , maka syirkah menjadi batal. Berbeda dengan pendapat Imanm Hanafi, syirkah demikian adalah syah, meskipun yang mensyaratkan itu baru dalam masalah perniagaan serta lebih banyak.[6]Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[7]
c.
syirkah abdan
Syirkah 'abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan konstribusi kerja ('amal), tanpa konstribusi modal (mâl)
yang hasilnnya mereka bagi sama rata. Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti
pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).
Hukumnya adalah sah menurut Mazhab Maliki dengan syarat mereka harus
berserikat dalam satu pekerjaan dan disatu tempat. Menurut Mazhab Hanafi boleh
saja meskipun pekerjaan berbeda pekerjaan dan tempatnya. Mazhab Hambali
membolehkan dalam segala hal. Adapun pendapat Madzhab Syafi’i: Syirkah abdan
adalah batal.[8]
d. syirkah wujûh
syirkah wujuh adalah berserikat dua orang terkemuka atau lebih untuk membeli
suatu barang perniagaan dengan harta yang ditangguhkan untuk mereka jual lagi
dan keuntungannya dibagi di antara mereka. Hukumnya adalah syah. Dengan syarat
tidak ada modal, dan salah seorang diantara mereka mengatakan kepada yang lain
“kami berserikat atas barang yang dibeli oleh salah seorang kita dalam suatu
tanggungn bersama. Contohnya,
e.
syirkah mufâwadhah
menurut pendapat Mazhab Hanafi syirkah mufawadhah ialah dua orang berserikat
pada suatu usaha yang mereka miliki, seperti emas dan mata uang, dan harus
bersamaan modalnya. Oleh karena itu, menurutnya jika modalnya tidak sama
perkongsian menjadi tidak sah. Setiap keuntungan yang diperoleh salah seorang
diantara mereka menjadi milik mereka berdua, dan setiap hal yang dijaminkan
oleh salah seorang diantara mereka dari harta rampasan atau lainnya menjadi
penjamin dari yang lain.
Madzhab Maliki berpendapat: dalam syirkah muafadhah boleh tidak sama besar
modalnya, dan keuntungan dibagi meneurut perbandingan persentase masing-masing
modal yang ditanam. Masing-masing menjadi penjamin terhadap yang lain, tetapi
tidak dalam masalah rampasan. Tidak ada perbedaan antara modal yang ditanam
baik berupa barang maupun uang. Juga tidak dibedakan antara menjadikan
perkongsian tersebut semua harta yang dimiliki atau sebagiannya saja untuk
usaha, serta sama saja antara harta mereka apakah dicampur menjadi satu
sehingga tidak dapat dibedakan atau dapat dibedakan sesudah dicampur menijadi
satu, dan kekuasaan berada pada keduanya. Menurut pendapat Hanafi Syirkah
hukumnya tetap sah meskipun harta masing-masing perkongsian berada di tangannya
dan tidak dikumpulkan.
Adapun pendapat madzha Syafi’i dan Hambali bahwa syirkah demikian tidak
sah. Menurut mazhab Syafi’i: dan tidak ada perkongsian muafadhah (hukumnya
batal).[9]
Dari berbagai pendapat status hukum tentang macam syirkah diatas dapat
diperinci menjadi berikut:
Pendapat ulama
|
Syirkah Man
|
Syirkah Abdan
|
Syirkah Wujuh
|
Syirkah ‘Inan
|
Syirkah Muafadhah
|
Keterangan
|
Mazhab
Maliki
|
Boleh
|
Boleh*
|
Batal
|
Boleh**
|
Boleh
|
*dalam satu tempat dan
pekerjaan.**modal satu macam, dicampur dan keuntunganya sama rata.
|
Mazhab
Hanafi
|
Boleh
|
boleh
|
Boleh
|
boleh
|
Boleh*
|
*Harus sama modalnya
|
Mazhab
Syafi’i
|
Boleh
|
Batal
|
Batal
|
Boleh*
|
Batal
|
*modal satu macam,
dicampur dan keuntunganya sama rata.
|
Mazhab
Hambali
|
Boleh
|
Boleh*
|
Boleh
|
boleh
|
Batal
|
* dalam satu tempat dan pekerjaan
|
C. Rukun dan Syarat Sirkah
Rukun
serikat
·
Ada sighotnya (lafadz akad)
·
Ada orang yang berserikat
·
Ada pokok pekejaannya
Syarat
lafadz
Kalimat
akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan.
Umpamanya salah seorang diantara keduanya berkata: “kita berserikat pada barang
ini, dan saya izinkan engkau menjalankannya dengan jalan jual beli dan
lain-lain” jawab yang lainnya, “ saya seperti yang engkau katakana itu”.
Syarat
menjadi anggota perserikatan
a) Berakal
b) Baligh
c) Merdeka
Syarat
modal perkongsian
a) Modal hendaknya berupa uang ( emas
atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula
dll
b) Dua barang itu hendaknya dicampurkan
sebbelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan lagi.[10]
BABA III
KESIMPULAN
Secara etimologis
syirkah berarti campur. Adapun syirkah secara hukum syara’ adalah suatu akad
antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah)
Berdasarkan kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat
lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah man; (2) syirkah inân (3)
syirkah abdan; ; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. Dalam macam
syirkah diatas terdapat persamaan dan perbedaan pendapat dalam memberikan
status hukum. Rukun serikat ada 3:
·
sighot (lafadz akad)
·
orang yang berserikat
·
pokok pekejaannya
sedangkan
syarat syirkah masih dibagi menjadi tiga yaitu: syarat lafadz,
syarat menjadi anggota, dan syarat modal perkongsian.
Syarat
lafadz
Kalimat
akad hendaklah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan.
Syarat
menjadi anggota perserikatan
· Berakal
· Baligh
· Merdeka
Syarat
modal perkongsian
· Modal hendaknya berupa uang ( emas
atau perak) atau barang yang dapat ditimbang atau ditakar. Misalnya beras, gula
dll
·
Dua barang itu hendaknya dicampurkan
sebelum akad sehingga antara kedua barang tidak dapat dibedakan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Mazhab As-Safi’i, 1983, Al-Umm (Kitab Induk), CV Faizan,
Semarang.
- Syaikh Al-‘Alamah Muhammad Bin
‘Abdurrahman Ad-Damasyqi, 2010, Fiqih
Empat Mazhab, HASYIMI Press, Bandung.
- Taqiyuddin An-Nabhani, 1990,
An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm
Cetakan IV, Darul Ummah, Beirut.
- Ahmad Warson Munawwir,1997, Al-Munawwir,
Pustaka Grafindo, Surabaya.
- Rifai Moh dkk, 1978, Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar,
Toha Putra, Semarang.
- Sulaiman Rasjid, 1995, Fiqh Islam
(Hukum Fiqh lengkap), PT Baru Algesindo, Bandung.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
(Surabaya: Pustaka Grafindo, 1997), hlm. 715
[2] Moh. Rifa’i dkk, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang:
Toha Putra, 1978), hlm. 209
[3] Taqiyuddin
An-Nabhani,.. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV.( Beirut: Darul
Ummah. 1990), hlm. 58
[4] Ibid,...hlm. 146
[5] Syaikh Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat
Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 266
[6] Syaikh Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimassyqi, Fiqih Empat
Mazhab, (Bandung: HASYIMI Press, 2011) hlm. 267
[7] Ibid,...hlm, 151
[8] Ibid,.. Fiqih, hlm. 267
[9] Al-Mazhab As-Syafi’i RA, Al-Umm, terjemahan Ismail Yakub,
(semarang: CV Faizan, 1983), hlm. 307
[10]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), (Bandung: PT Baru
Algesindo, 1995),hlm. 296
Langganan:
Postingan (Atom)